HISTORY – Penemuan fosil manusia purba di Indonesia
bukanlah hal yang baru. Sejak lama, berbagai fosil manusia purba dan perkakas batu
ditemukan di sejumlah wilayah di Nusantara. Temuan-temuan itu kemudian menjadi
bahan penting dalam penelitian arkeologi, paleoantropologi, hingga sejarah
manusia.
Salah satu wilayah yang paling terkenal adalah Sangiran,
yang dijuluki sebagai laboratorium manusia purba dan telah diakui oleh UNESCO
sebagai situs warisan dunia. Dari sana, peneliti menemukan beragam jenis
manusia purba di banyak wilayah Indonesia seperti Meganthropus paleojavanicus (manusia
besar dari Jawa), Pithecanthropus erectus (manusia kera yang berjalan tegak),
Pithecanthropus soloensis, Homo wajakensis, dan lain sebagainya.
Namun, Indonesia kembali mengejutkan dunia ketika
para ilmuwan menemukan fosil manusia purba yang dianggap berbeda dari jenis
hominin sebelumnya. Kali ini, bukan dari Jawa, melainkan dari bagian timur
Indonesia—Flores. Ia dikenal sebagai Homo floresiensis.
Apa yang membuat manusia purba ini begitu
menarik perhatian dunia, dan bagaimana para ilmuwan menanggapinya? Mari kita
telusuri kisahnya.
Mengenal Lebih Dalam Tentang Apa Itu Homo Floresiensis
Homo floresiensis merupakan spesies
manusia purba yang ditemukan di Gua Liang Bua, Flores, Nusa Tenggara Timur. Fosil
ini pertama kali ditemukan pada tahun 2003 oleh tim gabungan peneliti dari
Indonesia dan Australia, yang terdiri atas Mike Morwood, Thomas Sutikna, Rokus
Due Awe, E. Wahyu Saptomo, dan rekan-rekan lainnya.
Fosil tersebut memperlihatkan ciri tubuh
berperawakan kecil—tingginya hanya sekitar 1,06 meter dengan kapasitas otak
sekitar 380-420 cc, jauh lebih kecil dibandingkan otak manusia modern yang
berukuran 1.200-1.400 cc. Karena ukuran tubuhnya yang mungil inilah, ia dijuluki
The Hobbit, merujuk pada makhluk kecil dalam dunia fiksi Lord of the Rings
karya J.R.R. Tolkien.
Laporan ilmiah mengenai temuan ini disusun oleh
peneliti dari University of New England, Australia, yaitu Mike Morwood dan
Peter Brown, dan dipublikasikan pada Oktober 2004. Sebelum penemuan fosil
manusia purba tersebut, para ilmuwan juga menemukan sisa-sisa hewan purba di
gua yang sama, seperti gajah kerdil (Stegodon), bangau raksasa, tikus berukuran
besar, dan berbagai perkakas batu. Temuan ini menjadi indikasi bahwa Homo
floresiensis hidup dengan cara berburu dan telah mampu membuat alat bantu
sederhana, sebagaimana manusia purba lainnya.
Dilansir dari National Geographic, berdasarkan hasil
penanggalan radiokarbon, Homo floresiensis diperkirakan hidup sekitar
100.000 – 60.000 tahun yang lalu. Sementara itu, penemuan alat batu di situs
lain di Flores menunjukkan bahwa manusia purba—mungkin Homo erectus atau
spesies sejenis—sudah ada di pulau ini sejak sekitar satu juta tahun lalu.
Kemudian, penelitian
lanjutan di situs Mata Menge, Flores, pada tahun 2014 mengungkap keberadaan hominin
berpostur kecil yang hidup sekitar 700.000 tahun lalu. Salah satu fosil yang
ditemukan berupa fragmen tulang humerus (lengan atas) berukuran sangat kecil, bahkan
sebanding atau lebih kecil daripada milik Homo floresiensis. Para peneliti
menduga bahwa manusia purba dari Mata Menge ini kemungkinan merupakan nenek
moyang langsung Homo floresiensis.
![]() |
| Kerangka wanita Homo floresiensis di Museum Natural History di London oleh Emőke Dénes (sumber: wikimedia commons) |
Beberapa Sangkalan Tentang Homo Floresiensis
Ukuran tubuh Homo floresiensis yang
kerdil dengan otak berkapasitas rendah sempat memicu perdebatan di kalangan
ilmuwan. Salah satu teori menyebutkan bahwa fosil manusia purba dari pulau
Flores ini bukanlah spesies baru, melainkan fosil seorang anak dari genus Homo
erectus.
Pada tahun 2006, ahli paleoantropologi
Indonesia, Teuku Jacob, turut menyampaikan pandangannya. Ia berpendapat bahwa Homo
floresiensis sebenarnya merupakan manusia modern (Homo sapiens) yang
mengalami kelainan medis—kemungkinan mikrosefali atau sindrom Down—sehingga pertumbuhan
tubuh dan otaknya tidak berkembang secara normal.
Lebih lanjut, pendapat ini didasarkan pada bentuk
tengkorak Homo floresiensis yang asimetris—ciri yang sering ditemukan pada
orang dengan kondisi patologis. Selain itu, masyarakat Rampasasa yang tinggal
di sekitar Liang Bua juga memiliki perawakan yang relatif pendek—sekitar 140 cm—sehingga
diduga memiliki keterkaitan dengan fosil tersebut.
Namun, menurut laporan dalam buku Ragam
Temuan Manusia Purba Indonesia Sebagai Warisan Dunia, hasil laporan studi
yang dipublikasikan jurnal Science menunjukkan bahwa para peneliti tidak menemukan
tanda adanya relasi genetik antara para “hobbit” dengan masyarakat Rampasasa di
Flores.
Tokoh lain yang mendukung pendapat Teuku Jacob
adalah Profesor Robert Martin dari Field Museum of Natural History, Chicago,
seorang spesialis alometri (studi tentang pertumbuhan relatif). Ia menilai bahwa
dalam pola pertumbuhan alami, pengecilan tubuh tidak akan menyebabkan penyusutan
otak secara drastis. Bahkan, pada makhluk yang berukuran kecil, ukuran otak
biasanya justru relatif lebih besar dibanding tubuhnya. Sementara itu, otak Homo
floresiensis hanya berkisar 380 cc, jauh lebih kecil dibandingkan Homo erectus
yang mencapai 900–1.100 cc. Jika dianggap versi “mengecil” dari Homo erectus,
penurunan tersebut dianggap terlalu ekstrem.
![]() |
| Tengkorak wanita Homo floresiensis di Museum Natural History di London oleh Emőke Dénes (sumber: wikimedia commons) |
Beberapa makalah ilmiah juga muncul untuk
menolak teori bahwa Homo floresiensis adalah spesies baru. Meski begitu,
sebagian besar peneliti akhirnya sepakat bahwa berdasarkan analisis morfologi—baik
dari tengkorak, struktur gigi, juga tubuh—H. floresiensis menunjukkan
ciri-ciri yang konsisten dan berbeda dari manusia modern yang mengalami
kelainan medis.
Analisis lanjutan juga menegaskan bahwa fosil LB1
(H. floresiensis atau individu utama yang ditemukan di Liang Bua) bukanlah
milik seorang anak, melainkan fosil orang dewasa yang mengalami suatu gejala
yang disebut island dwarfism—fenomena evolusi di mana spesies menjadi kerdil
karena terisolasi di suatu pulau dengan sumber daya terbatas.
Kemudian, munculnya temuan pada 2014 di Mata
Menge (Flores), serta temuan spesies serupa di Filipina (Homo luzonensis),
semakin memperkuat kemungkinan bahwa keberadaan hominin yang bertubuh kerdil memang
merupakan bagian dari dinamika evolusi manusia di wilayah Asia Tenggara.
Legenda Masyarakat Flores Tentang Makhluk Kecil: Ebu Gogo
Terdapat
satu legenda yang telah lama hidup di masyarakat Flores—tepatnya di wilayah
Nage—tentang makhluk kecil yang suka memakan apa saja. Ia disebut Ebu Gogo.
Dalam cerita rakyat, makhluk ini digambarkan berbulu, bertubuh pendek, berambut
dan bertangan panjang, serta memiliki payudara yang menggantung. Mereka tinggal
di gua-gua, berbicara dengan bahasa yang tidak jelas, dan sering mencuri
makanan warga. Bahkan dalam beberapa kisah, mereka juga diceritakan memakan
bayi manusia.
Sebelum
Homo floresiensis ditemukan, legenda ini hanya dianggap sebagai cerita
rakyat semata. Sebagian mungkin mengaitkannya dengan hal mistis, sebagian lain
menganggapnya sekadar dongeng moral.
Namun,
sejak penemuan Homo floresiensis pada tahun 2003 di Liang Bua, cerita
ini mulai dipandang dari sudut pandang baru. Para ilmuwan pun mulai bertanya:
mungkinkah Ebu Gogo memiliki hubungan dengan hominin dari Flores ini?
![]() |
| Gua Liang Bua, Flores, Nusa Tenggara Timur oleh Rosino (sumber: wikimedia commons) |
Seorang
antropolog, Gregory Forth, berargumen bahwa kisah Ebu Gogo mungkin menyimpan
jejak ingatan lisan tentang makhluk nyata yang pernah hidup. Menurutnya, adanya
kesamaan antara keduanya—seperti tubuh kecil, lengan panjang, dan bentuk
menyerupai manusia—menarik untuk diteliti.
Namun,
Paige Madison, mengatakan bahwa hubungan antara Ebu Gogo dan Homo
floresiensis memiliki kemungkinan kecil. Menurutnya, lokasi asal legenda
ini dan situs temuan fosil Homo floresiensis berbeda jauh. Ebu Gogo
merupakan tradisi lisan dari masyarakat Flores bagian tengah, sedangkan fosil
ditemukan di bagian barat pulau.
Hal
ini bukan hanya tentang perbedaan geografis, melainkan juga budaya. Masyarakat
Manggarai (barat Flores) memiliki bahasa dan adat yang berbeda dengan masyarakat
di bagian tengah.
Madison
juga menambahkan bahwa kisah tentang makhluk kecil bukan hanya terdapat di
Flores, tetapi juga muncul dalam bentuk lain di beberapa wilayah Nusantara. Meskipun
begitu, Madison menilai penelitian semacam ini berharga, karena menunjukkan
bagaimana legenda dan sains dapat saling berhubungan.
✦✦✦
Sumber:
Pusat Data dan Analisis Tempo. Ragam
Temuan Manusia Purba Indonesia Sebagai Warisan Dunia. Tempo
Publishing, 2020.
Colin Groves (2007). The Homo Floresiensis
Controversy. Hayati Journal of Biosciences, 14(4), 123-126.
Ricky Jenihansen. Siapakah 'Hobbit' Flores? Inilah Apa yang Diketahui tentang Manusia Purba Ini. nationalgeographic.grid.id, 24 Mei 2025. Diakses pada 17 Oktober 2025.
Humas Pusat Survei Geologi. Fosil Tulang Manusia Purba (Humerus) Terkecil Ditemukan. Pusat Survei Geologi. Diakses 17 Oktober 2025.
Virtual Tour Museum Nasional. Homo Floresiensis. Museum Nasional. Diakses 17 Oktober 2025.
Paige Madison. Investigating Homo
floresiensis and the myth of ebu gogo. aeon.co, 3 Feb 2020. Diakses pada 18
Oktober 2025




0 Comments