Sebuah cerpen sejarah reflektif tentang kehidupan di tanah Jayakarta—orang abad ke-17 menyebutnya Batavia, sedangkan orang modern abad ke-21 mengenalnya sebagai Jakarta.
“Kau kalah lagi. Sudah tiga kali pula,” anak berambut ikal itu
mengejek temannya yang sepertinya sedang tidak beruntung hari ini.
“Ya, tidak apa-apa. Ayo, main lagi!” seru si anak yang sudah kalah
tiga kali itu. Air matanya menggenang hingga membasahi bulu matanya yang
lentik. Sepertinya kata-kata Jojo sedikit menyinggungnya. Namun ia tetap
berusaha untuk tidak menangis agar tidak disebut cengeng.
“Eh, janganlah begitu, Jo,” kata teman lainnya kepada Jojo.
Jojo—anak yang mengejek tadi—hanya diam sambil membawa gasing
miliknya yang masih tergeletak di tanah. Ia ingin menjawab perkataan Tono yang
seolah menyudutkannya. Tapi, ekspresi Jaya membuatnya mengurungkan niat. “Sepertinya
aku memang sedikit keterlaluan kepada Jaya,” renungnya.
Langit sore itu tampak lebih cerah dari biasanya. Cahaya mentari
bersinar hangat, membawa suka cita kepada anak-anak bumiputra. Tak ada hal-hal
mewah, yang ada hanya mainan sederhana. Segerombolan anak sibuk dengan gasing
mereka yang saling beradu, bertarung gagah untuk memperebutkan siapa yang mampu
berputar lebih lama. Sebagian lainnya sibuk dengan layangan kertas yang dibuat
sederhana oleh bapak mereka. Para gadis tak ingin kalah. Mereka menunjukkan
kelihaian dengan melompati tali dengan anggun. Sepertinya para gadis sedang melakukan
unjuk bakat karena mampu bermain lompat tali menggunakan rok dengan panjang sebetis.
Di tengah hiruk-pikuk Batavia sore itu, seorang bocah lari dengan
congkak menuju kumpulan anak laki-laki yang sedang sibuk dengan gasing mereka.
“Hey, Jojo! Tengok ini, aku ada gasing baru!” seru si anak.
Sambil melambai-lambaikan gasingnya itu, dia menyinggung senyum tanda
kemenangan. Jojo memasang muka masam. Ia merasa heran kenapa Bowo—anak yang
berlari—hanya memamerkan gasing berwarna merah dengan polet biru itu kepadanya
saja, padahal ada anak lain juga di lapangan. Belum sempat ia menjawab
panggilan sombong itu, Bowo sudah menimpalinya dengan pernyataan jumawa lain.
“Bapakku bikin ini dari kayu jati, sisa kursi punya tuan Kompeni. Elok,
kan?” tukasnya.
Anak-anak yang lain langsung mengerumuni Bowo. Gasing miliknya
terlihat lebih kuat dibanding dengan gasing lainnya. Meski enggan menampakkan
takjub, sudut mata kiri Jojo tetap penasaran dengan gasing baru milik Bowo itu.
“Wah, cantik sungguh ini!” seru Jaya.
“Pinjamkan padaku nanti, ya, Wo,” Tono meminta dengan mata
berbinar.
Bowo mengangguk dengan kepala yang sedikit terangkat. Pandangannya
tetap terfokus pada Jojo meski ia sedang menjawab permohonan Tono.
“Tunggu saja, aku bakal suruh Bapak buatkan gasing baru dari kayu
jati juga. Lihat nanti, punyaku bakal jadi paling bagus!” seru Jojo. Ia yang
dari tadi diam akhirnya buka suara.
Anak-anak lain kali ini merasa takjub dengan Jojo—dan gasing miliknya yang baru akan diminta kepada bapaknya itu. Mereka iri, berharap bisa meminta permintaan yang sama kepada bapak mereka. Namun, anak-anak itu sadar bahwa permintaan semacam itu hanya bisa diminta oleh Bowo dan Jojo saja.
***
Langit cerah yang tampak kabur karena polusi kendaraan sudah menjadi pemandangan lumrah yang terlihat dari jendela rumah itu. Di balik asap emisi yang jelas-jelas tak sehat bagi paru-paru, teriakan para ibu turut menyumbang keramaian pagi, seolah menjadi rutinitas yang tak bisa dilewatkan barang hanya satu hari.
Seorang ibu akan berteriak sambil membangunkan anaknya yang masih
terlelap meski jam sudah menunjukkan pukul tujuh kurang lima belas menit. Ibu
yang lain akan mengomel tanpa henti karena melihat suaminya yang hanya duduk
santai sambil menyeruput kopi hitam di bawah cahaya matahari pagi. Si ibu akan
jengkel hingga akhirnya mengutuk perilaku yang tak bisa menghasilkan uang itu.
Di beberapa kasus, para ibu tidak hanya mendumel menggunakan bibir
saja. Alat-alat rumah tangga seperti baskom, gelas plastik, bantal, dan barang
ringan lainnya akan turut andil mengekspresikan kekesalan para ibu. Namun,
meski istri mereka menunjukkan perilaku yang agresif, para bapak tetap mampu
bernapas dengan tenang, menandakan hal tersebut adalah episode normal yang
sudah sering terjadi dalam kehidupan rumah tangga mereka.
Biip, biip, biip, biip. Suara yang tak
asing itu kembali menggema di depan ruangan sederhana yang tak begitu luas.
Ternyata, selain suara ocehan para ibu, ada suara lain yang mewarnai pagi hari
itu.
“Mas, tokennya habis,” sahut seorang wanita yang sedang memasak
nasi goreng dengan telur dan bawang merah yang dipotong-potong panjang tanpa
dicincang.
“Uang kemarin masih ada, Dik?” jawab seorang pria yang merupakan kepala
keluarga di rumah kecil itu.
Si suami sedang bersiap untuk bergegas pergi ketika suara token itu
berbunyi. Ini langka, karena pria itu mampu menyalahi kebiasaan para bapak yang
hanya duduk santai dengan kopi hitam di tangan pada pagi hari.
“Ada, tapi kalau dipakai buat bayar listrik, nanti bakal kurang
buat beli popok,” si istri menjawab dengan nada yang berbeda dengan teriakan para
ibu di kompleks itu.
“Ambil dulu aja dari uang yang ada di bawah baju, nanti kalau ada
rezeki lebih, Mas ganti,” jawab suaminya.
Si suami mengisyaratkan kepada istrinya untuk mengambil uang dari “tabungan”
yang tak seberapa itu. Sang istri juga menyampaikan bahwa uang sewa kos harus
dibayar tepat satu minggu lagi. Meski sudah tahu, si suami tetap menganggukkan
kepala untuk menenangkan istrinya.
Pria itu menyalakan sepeda motor matic berwarna putih dengan
kepala yang sedikit berat. Mungkin karena percakapan pagi ini, pikirannya
bekerja lebih keras merenungkan bagaimana ia harus menghasilkan uang lebih
banyak dalam beberapa hari ini. Meskipun demikian, ia tetap bersyukur karena
setidaknya ia sakit kepala bukan karena teriakan dan lemparan baskom sang
istri. Ia bersyukur karena istrinya tidak memiliki kebiasaan meluapkan emosi
dengan berbagai lemparan sebagaimana tabiat para istri tetangga mereka. Ia juga
bahagia karena anaknya bisa hidup sehat meski serba pas-pasan.
“Berangkat kerja, Mas Fahmi?” suara Pak Rudi memecah lamunan Fahmi
tentang bayaran-bayaran yang menghantuinya itu.
“Iya nih, Mas,” jawab Fahmi ramah.
“Padahal mah bisa nanti berangkatnya, Mas. Pagi-pagi biasanya macet.
Lagi pula pekerjaan Mas Fahmi kan cukup fleksibel.”
Tetangganya itu memberikan saran yang sebenarnya entah baik atau
buruk baginya. Namun, Fahmi tak terlalu kaget
dengan saran dari Pak Rudi tersebut. Ucapan serupa juga sering ia dengar dari
bapak-bapak lain di lingkungan rumahnya. Ia juga merasa tak perlu menjawab
perkataan Pak Rudi karena Bu Marni telah mewakilinya. Dengan muka yang tak
bersahabat, Bu Marni menggeplak kepala suaminya setelah memberikan saran yang
entah baik atau buruk itu. Setelah melihat adegan itu, Fahmi cepat-cepat undur
diri agar tidak terlalu terlibat dalam urusan rumah tangga keluarga lain.
Perkataan Pak Rudi memang tak sepenuhnya salah. Fahmi bisa
berangkat kapan saja. Namun, ia selalu percaya bahwa jika ia berleha-leha di
pagi hari, maka “rezekinya akan dipatok ayam.” Maka dari itu, setiap jam tujuh
pagi, ia sudah berangkat meluncur untuk mengais pundi-pundi rupiah.
Setelah dua tahun melakukan profesi ini, ia juga paham bahwa pagi
dan sore hari merupakan kesempatan emas baginya. Ia merasa tidak boleh
berpangku tangan hanya karena ia tidak memiliki jam kerja tetap sebagaimana
pegawai kantoran. Sebagai seorang kepala keluarga, bekerja keras adalah suatu
keharusan. Ia juga harus memberikan yang terbaik untuk istri dan anaknya yang
baru berusia tiga tahun itu.
***
“Mak, Mak! Apa Bapak sudah pulang?” teriak Jojo.
Jojo yang baru saja pulang dari lapangan cepat bergegas menemui
ibunya. Gasing yang sudah mulai aus karena telah sering dimainkan itu digenggamnya
erat-erat. Dengan napas yang tersengal-sengal, ia menelisik sekeliling rumah
dan mencari sosok yang sudah sangat ingin ia temui itu.
“Belum, barangkali sebentar lagi,” jawab Mak Jojo. “Kenapa? Jarang
benar kau cari-cari Bapak,”
Pertanyaan itu terlontar bukan tanpa sebab. Pasalnya, Jojo
merupakan anak yang acuh tak acuh terhadap bapaknya. Ia cenderung tidak mau
tahu tentang kapan bapaknya berangkat dan pulang kerja. Ia hanya akan mendekati
bapaknya jika ada sesuatu yang ia inginkan.
Melihat ibunya yang penuh curiga, Jojo cepat-cepat mengalihkan
pembicaraan. Jika ibunya tahu ia ingin kayu jati untuk bahan gasing baru
seperti milik Bowo, mungkin sapu lidi akan melayang sebelum keinginannya itu
terwujud.
“Mak, tuan Kompeni itu main gasing juga, kah?”
Pertanyaan itu tiba-tiba keluar dari mulut anak laki-laki berusia
sepuluh tahun. Bagi anak seusianya, itu pertanyaan wajar. Hanya saja, pertanyaan
itu cukup membuat Mak kebingungan untuk menjawab.
“Mana ada tuan Kompeni main-main gasing seperti anak kecil. Bapakmu
juga tidak main, kan?”
“Bukan Bapaknya, Mak. Anak-anaknya itu loh… anak tuan Kompeni,”
Jojo berusaha meluruskan pertanyaannya itu.
“Mana Mak tahu. Mak kan belum pernah masuk ke tembok sana. Coba
tanya sama Bapakmu nanti.”
“Kenapa Mak belum pernah masuk ke sana? Mak kan istri Bapak.”
“Bapakmu itu kerja di balik tembok sana, jadi boleh masuk. Tapi
orang macam Mak, ya tak boleh sembarang masuk.”
“Memang orang macam apa Mak?”
“Ya, maksudnya kita bukan orang Kompeni.”
“Kalau kita bukan orang Kompeni, terus kenapa, Mak?”
Mak tidak menjawab. Dia sendiri bingung harus berkata apa. Pasalnya,
pertanyaan yang benar-benar datang dari rasa penasaran itu juga mengundang tanda
tanya besar di benak Mak. Ada perasaan tidak adil setiap Mak memikirkan
pertanyaan itu. Mak sudah hidup selama bertahun-tahun di tanah Batavia. Bahkan,
nenek moyangnya telah tinggal di sana sejak nama tempat itu masih Jayakarta.
Neneknya Mak pernah bercerita bahwa para Kompeni datang dengan kapal
ke pelabuhan di Sungai Ciliwung. Lama kelamaan, jumlah mereka bertambah banyak dan
kekuasaan mereka semakin kuat. Setelah itu, mereka membangun tembok dengan tinggi
kira-kira 5 meter dan keliling 2 kilometer persegi.
Orang-orang bilang, kehidupan para Kompeni sangat berbeda dengan kaum
pribumi yang tinggal di luar tembok. Katanya, mereka hidup enak. Tapi, Mak tidak
pernah bisa melihatnya secara langsung. Saat suaminya mendapat kesempatan untuk
bekerja di sana, Mak pun hanya bisa mendengarkan kisah-kisahnya saja. Ia hanya bisa
membayangkan kehidupan di dalam tembok.
“Di sana ada satu gedong besar, tempat tuan-tuan Kompeni berkantor.
Rumah mereka gagah-gagah, Mak. Dindingnya dari bata, ada juga yang dari kayu
jati. Jalannya besar, lurus, dan rapi. Ada pula sungai yang mengalir di tengah
kota. Tapi sungainya beda sama yang ada di tempat kita. Mereka pakai perahu ke
sana ke mari buat angkat barang dagangan. Pakaian mereka elok-elok dari kain halus
yang bagus. Mereka juga pakai sepatu hitam yang kalau kena sinar matahari bakal
bersinar,” ungkap Bapak Jojo suatu hari saat Mak bertanya tentang bagaimana
kehidupan di sana.
“Tapi, orang di sana sering sakit. Malaria katanya,” Bapak Jojo menambahkan
pernyataan yang sedikit membuat Mak terkejut.
Setelah hening beberapa lama, Mak tiba-tiba berkata kepada Jojo, “Mereka
orang kaya, Jo. Mainannya yang jelas bukan gasing butut seperti punyamu.”
Mendengar jawaban itu, Jojo pun terdiam dan tidak menjawab lagi. Ia
tenggelam dalam pikirannya sendiri. Sambil menunggu Bapak, benaknya terus sibuk
menebak-nebak: apa sebenarnya yang dimainkan anak-anak di dalam tembok sana?
***
Angin pagi itu berhembus dari timur ke barat, mengayunkan rambut
Dewi yang terurai sepanjang bahu. Meski masih pagi hari, udara terbilang cukup
lembab karena suhu menunjukkan angka 27 derajat. Sebelum berangkat kerja, ia
harus mengguyur badannya dengan air dingin agar merasa segar saat bekerja.
Namun, baru saja ia melangkahkan kaki sekitar sepuluh meter, kesegaran setelah
mandi itu perlahan menguap. Belum lagi asap kendaraan yang lalu-lalang di
sekitarnya membuat udara menjadi lebih panas, hingga memantik keringat tipis
untuk mengalir keluar.
Sambil menunggu seseorang datang, Dewi mengecek layar ponselnya
secara berkala. Saat perhatiannya terfokus pada layar gawai, mata cokelatnya mengikuti
pergerakan sebuah ikon sepeda motor yang melaju di sepanjang garis hijau.
Setelah memastikan bahwa ikon itu sedang bergerak ke arah tempatnya berada, ia
pun mengalihkan pandangannya pada ratusan kendaraan roda dua dan tiga yang ada
di hadapannya. Kendaraan-kendaraan itu saling menyalip satu sama lain, berjibaku
dengan hiruk-pikuk kota Jakarta yang tak pernah tidur. Dewi menebak, sepertinya
orang-orang itu sedang terburu-buru seperti dirinya–bergegas menuju tempat
kerja, meski raga mereka masih ingin terbaring di kasur empuk yang baru mereka
tinggalkan.
“Atas nama Mbak Dewi?” tanya seorang pengemudi ojeg online pada
Dewi yang sedang mematung di samping gerobak bubur ayam Mas Joko. Mata Dewi
terbelalak saat melihat wajah yang sudah lama tak ia jumpai.
“Lah, Bang Fahmi?” katanya refleks.
Fahmi yang juga tak kalah kaget hanya mengangguk kecil dengan
senyum lebar yang menyimpul di wajahnya.
Sambil menaiki motor, Dewi berseloroh, “Lama nggak ketemu, Bang. Foto
di aplikasinya agak beda. Aku jadi nggak ngeuh.”
Fahmi setuju dengan apa yang dikatakan Dewi. Ia memang banyak
berubah selama tiga tahun terakhir.
“Ngajar di mana sekarang, Wi?”
“Sekarang di SMP 00 Jakarta, udah satu tahun,” jawab Dewi singkat.
Tak ingin percakapan berakhir terlalu cepat, ia pun balik bertanya,
“Bang Fahmi masih ngajar?”
“Masih, Senin sampai Kamis aja. Jumat sampai Minggu ngojeg, lumayan
buat nambah-nambah.”
“Nggak fokus ngajar aja, Bang?”
“Pengennya sih begitu. Mungkin nanti kalau lolos CPNS. Sekarang kan
masih honorer, kerja juga nggak full. Jadi daripada nganggur, mending
nyari peluang lain,”
“Hidup di Jakarta kan nggak murah. Kalau cuma ngandelin gaji yang cuma
delapan ratus ribu, mana cukup. Apalagi sekarang udah punya istri sama anak. Harus
pandai-pandai cari tambahan.”
“Nggak ngajar les kayak dulu, Bang?” tanya Dewi lebih lanjut.
“Udah, ini kalau malam biasanya ngajar les, kok. Nggak full
seminggu, cuma beberapa hari. Lumayan buat tambahan juga.”
“Wah, memang beda guru matematika satu ini. Dari dulu udah rajin.”
“Bukan rajin, cuma butuh aja. Kalau nggak gesit, kapan bisa punya
rumah sendiri?” Fahmi menjawab pujian Dewi dengan candaan.
Selama lima belas menit perjalanan, Dewi dan Fahmi bertukar cerita
sambil bernostalgia. Meski tak berlangsung lama, obrolan mereka seolah
membungkam bising klakson jalanan yang biasanya riuh di telinga Fahmi.
***
Keempat anak bumiputra itu berkumpul di tempat rahasia yang sebenarnya
sudah tidak rahasia lagi—orang sekampung sudah tahu di mana mereka biasa berkumpul.
Mereka sering menghabiskan waktu di kebun singkong milik keluarga Jaya. Jojo
adalah orang yang mengusulkan kebun itu menjadi “markas” mereka. Katanya, Mak
Jaya suka memberi makanan gratis kepada mereka. Seperti hari ini, mereka
berkumpul untuk membuat layangan bersama sambil makan pisang yang dipetik
langsung dari kebun.
“Nah, bagaimana rupanya gasing dari kayu jatimu itu, Jo?” Tono
bertanya mengenai gasing yang pernah mereka bahas beberapa hari lalu.
Mata Bowo dan Jaya langsung tertuju pada Jojo yang sedang sibuk
meraut bambu untuk layangan. Jojo menelan ludah karena tidak tahu apa yang harus
dikatakan. Jika ia jujur bahwa Bapaknya tidak bisa membawakan kayu jati
permintaannya itu, ia pasti akan menjadi bulan-bulanan teman sepermainannya itu—terutama
Bowo. Namun, ia juga tidak ingin berbohong karena tidak bisa membuat gasing
kuat seperti milik Bowo.
“Ah, sabarlah dahulu, nanti aku buat,” jawab Jojo seadanya.
“Kapan?” tanya Bowo penasaran.
“Ya, kapan-kapan,” seru Jojo singkat.
Sebelum teman lainnya bertanya lebih lanjut mengenai gasing yang
apakah bisa dia buat atau tidak, Jojo cepat-cepat mengalihkan pembicaraan.
“Menurut kalian, apakah anak-anak Kompeni di balik tembok itu main gasing?”
Jojo kembali menanyakan pertanyaan yang pernah ia ajukan kepada Maknya beberapa
hari lalu.
“Tentulah. Gasing kan memang mainan buat anak-anak,” jawab Jaya dengan
yakin.
Bowo dan Tono tidak bisa mengiyakan ataupun membantah jawaban Jaya
itu. Mereka sama penasarannya dengan Jojo. Karena tidak tahu pasti, mereka
semua menganggap jawaban Jaya adalah kemungkinan yang paling benar.
“Jika kita mengajak mereka main, pastilah pertandingan gasing kita
akan jadi meriah, kan?” respons Tono tak mau kalah.
“Aih, itu tidak mungkin, lah. Bapakku bilang, orang Kompeni mana
mau bergaul dengan kita,” Bowo kali ini menyangkal jawaban Tono.
Bowo sering mendengar cerita dari bapaknya tentang bagaimana orang
Kompeni memandang orang-orang pribumi. Meski usianya masih muda, Bowo berkesimpulan
bahwa orang Eropa itu tidak suka berbaur dengan orang dari kelas ketiga menurut
pandangan mereka.
“Kenapa?” jawab Jaya polos.
“Mungkin karena kita tidak memakai sepatu. Katanya orang Kompeni gemar
mengenakan sepatu yang berkilauan,” Jojo menambahkan informasi yang dia dapat
dari Mak dan Bapaknya.
“Mengapa begitu? Aku saja tetap ingin bermain dengan Tono, walaupun
dia tidak pakai sandal,” bela Jaya sambil mengangkat kakinya yang memakai
sandal sederhana dari kayu tipis.
“Benar sekali. Kalau kita bisa berjumpa dengan anak-anak Kompeni, pasti
mereka akan gembira bersama kita. Kita kan bisa membuat layang-layang,” seru Tono.
“Iya. Tapi bagaimana cara kita berjumpa dengan mereka? Lihatlah
tembok yang tinggi itu,” telunjuk Bowo mengarah pada tembok kokoh yang terlihat
jadi lebih kecil dari kejauhan.
“Mustahil kita melewati gerbang itu. Kita juga tidak akan bisa memanjat
hingga ke atasnya,” tambah Bowo.
Keempat sekawan itu mengangguk sepakat terhadap ucapan Bowo. Mereka
melihat lekat tembok itu dari kebun singkong. Penduduk kampung telah lama
mengetahui bahwa tembok yang didirikan orang Kompeni itu tidak bisa ditembus oleh
orang pribumi biasa. Apalagi penjagaannya yang amat ketat, tiada celah sedikit
pun untuk menyelinap masuk, bahkan jika harus sembunyi-sembunyi.
“Kalau saja tembok itu tidak ada, barangkali kita sudah bermain
gasing dengan anak-anak Kompeni itu,” Jojo menyampaikan pengandaian yang
disetujui teman-temannya.
“Kau benar. Mungkin kita pun dapat menikmati roti seperti mereka.
Makku bilang orang Kompeni makan roti dari gandum,” jawab Jaya yakin setelah
sebelumnya ia sering menguping pembicaraan ibunya dengan para tetangga tentang
kehidupan orang-orang Kompeni.
“Seumpama tembok itu tidak pernah ada, aku ingin naik perahu di
sana. Konon, ada sungai yang mengalir tenang di balik tembok itu, ya?” kata Tono
tak ingin kalah untuk menyampaikan pengandaiannya.
“Andai tidak ada tembok itu, tentulah aku dapat mengambil sisa-sisa
kayu jati di rumah orang Kompeni dengan mudah,” ucap Jojo tiba-tiba, mengungkit
kembali perihal kayu jati yang tidak bisa dibawakan oleh Bapaknya itu.
Bowo yang selalu sinis terhadap Jojo kemudian mulai bereaksi
terhadap jawaban temannya itu.
“Mengapa engkau begitu yakin bakal dapat kayu jati sekalipun tembok
itu tidak ada?” Meski bersahabat erat, Jojo dan Bowo kerap kali memperlihatkan rivalitas
yang entah sejak kapan mulai tumbuh di antara keduanya.
Jojo yang tak terima diinterupsi Bowo langsung menjawab, “Lihatlah
rumah-rumah di kampung ini. Tidak ada satu pun tembok tinggi. Itulah sebabnya
kita sering diberi singkong oleh tetangga secara cuma-cuma, tanpa diminta.”
Logika Jojo ketika itu diterima dengan baik oleh teman-temannya. Pikiran
sederhana itu memang terdengar masuk akal. Jika tidak ada tembok itu, Jojo
sudah pasti bisa dengan mudah mendapat sisa kayu jati dari elit Kompeni. Namun,
pernyataan polos Jojo itu tentunya tidak bisa disetujui begitu saja oleh orang
dewasa.
Siang itu, mentari bersinar garang di atas kampung kecil di
pinggiran tembok Batavia. Sekelompok anak sedang sibuk membuat layangan dan mengobrol
tentang banyak hal. Pembicaraan itu kemudian mengarahkan benak mereka pada
suatu harapan: runtuhnya tembok pembatas yang telah berdiri teguh entah sejak
kapan.
Bagi keempat anak itu, tembok pembatas tersebut telah menghalangi
mereka dari banyak hal: bermain gasing dengan anak Kompeni, memakan roti,
menaiki perahu di sungai, juga membawa sisa kayu jati. Dalam kesederhanaan
pikirannya, mereka meyakini bahwa jika tembok itu tidak ada, maka jarak yang
menghalangi antara kehidupan di dalam tembok dan kehidupan sederhana orang-orang
di kampung sekitar tembok juga akan sirna.
Entah bagaimana, pengandaian mereka tersebut akhirnya terwujud. Berabad kemudian, tembok yang memisahkan golongan pribumi dengan elit Eropa itu pun perlahan runtuh dan lenyap dari pandangan. Namun pertanyaannya: apakah jarak antara “para elit” dan mereka yang dianggap sebagai “kelas ketiga” itu benar-benar telah sirna bersamaan dengan runtuhnya tembok itu?
***
Setelah menyelesaikan kelas tepat pukul sembilan malam, Fahmi
bergegas pulang menuju rumah sederhananya untuk melepas penat. Ia menyusuri
jalanan “familier yang asing” sehabis mengajar les di sebuah kompleks mewah di
jantung Jakarta Selatan. Malam itu, langit terlihat cerah, dihiasi cahaya
bintang dan kerlap-kerlip lampu kota yang terpancar dari gedung dan bangunan
mewah di sepanjang jalan.
Menyaksikan pemandangan kota yang indah itu, Fahmi memahami alasan
mengapa begitu banyak orang ingin datang ke ibu kota. Bagi mereka yang ingin
memperbaiki nasib, Jakarta seakan menjadi panggung harapan karena peluang
ekonominya. Sementara bagi mereka yang tidak ada masalah dengan urusan kantong,
kota ini adalah tempat yang cocok untuk menyesuaikan gaya hidup dengan
kelapangan isi dompet. Selain sebagai pusat ekonomi dan pemerintahan, kota ini
juga menjadi tempat berkumpulnya orang-orang penting dan terkenal. Kehidupan yang
serba mewah dan mudah, namun juga sulit dan mahal di saat yang bersamaan.
Hari itu terasa panjang dan melelahkan. Sambil menyusuri gang-gang
sempit menuju kontrakan tempat istri dan anaknya tinggal, Fahmi menyaksikan
kehidupan yang begitu kontras—terbalik seratus delapan puluh derajat dari apa
yang baru saja ia saksikan dua puluh menit sebelumnya. Tak ada tempat tinggal
dari beton yang tinggi dan indah. Hanya ada deretan bangunan sederhana yang
saling berdesakan, memeluk jalan setapak yang sempit. Tempat-tempat kecil ini yang
menyimpan berjuta harapan untuk sekedar bertahan, atau jika beruntung, untuk hidup
yang sedikit lebih baik.
Sebelum memasuki rumah, Fahmi kembali memandangi gedung pencakar
langit yang begitu gagah dan bercahaya di kejauhan. Pemandangan itu terlihat begitu
menakjubkan jika dilihat dari tempatnya berdiri, seperti lukisan kota yang
memikat siapa pun yang memandang. Ada harapan besar yang terbit di matanya,
namun ada juga kesedihan yang menelisik masuk ke dalam hatinya.
Gedung-gedung itu terlihat begitu dekat, jaraknya tak sampai
puluhan kilometer. Tapi kenyataannya, tempat megah itu terasa jauh dan sulit digapai.
Bahkan, saat ia mencoba mendekat, kehidupan di baliknya justru terasa semakin menjauh.
Fahmi mengambil napas panjang. Ia berusaha menerima realita yang
ada. Sambil melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah, ia berbisik lirih kepada
dirinya sendiri, “Sepertinya ada tembok tak kasat mata di depan rumah ini.”
![]() |
Setelah hilang secara raga oleh waktu, ternyata tembok itu masih ada di tanah Jayakarta. Tak kasat mata, tapi begitu jelas dalam rasa. |
✦✦✦


0 Comments