OPINION – Bagi guru di Indonesia, obrolan soal gaji selalu menjadi isu yang sensitif. Sering kita lihat di berbagai daerah, ada guru yang hidup serba pas-pasan—atau malah kurang—tapi tetap semangat mengajar. Begitu potret itu muncul, orang mulai memberi apresiasi, “Pahlawan tanpa tanda jasa!” Tapi siapa sangka, titel itu menuntut harga yang harus dibayar.
Pro dan kontra soal gaji guru selalu meramaikan lini media sosial. Banyak yang membela, “Naikkan gaji guru!” Ada juga yang nyeletuk, “Bukan cuma guru yang harus diperhatikan, profesi yang lain juga perlu!” Obrolan gaji guru pun sampai membuat segelintir orang jadi pusing, khususnya bagi mereka yang punya wewenang.
Pernah suatu hari saya nyasar ke sebuah video di internet. Isinya, seorang bapak-bapak (atau mungkin mas-mas) sedang ngoceh soal kenapa gaji guru itu penting sekali diperhatikan. Katanya, kunci kesejahteraan guru ada pada gaji yang “cukup”. Iya... cukup.
Masalahnya, di dunia nyata, masih banyak guru yang gajinya bahkan belum sampai level cukup. Alih-alih cukup, malah membuat mereka harus bermain tebak-tebakan: cukup sampai tanggal berapa?
Yang membuat sedih, masih banyak guru yang gajinya mungkin hanya seharga skincare ibu-ibu sosialita—Rp 500.000, bahkan kurang. Ini riil, dan saya tidak sedang bikin plot sinetron. Angka itu bahkan seperempat UMK Kabupaten Banjarnegara yang jumlahnya Rp 2.170.475—jika belum ada perubahan.
Kubu kontra biasanya akan mengatakan, guru bisa dapat gaji lebih besar kalau sudah berstatus CPNS atau PNS. Betul. Masalahnya, tidak semua orang yang daftar otomatis langsung lolos. Prosedurnya panjang, kalau nasib sedang tidak baik, ujung-ujungnya hanya akan dapat ucapan “coba lagi” dan harus menunggu sampai kesempatan berikutnya.
Sambil menantikan kesempatan itu, guru-guru yang kurang beruntung harus memikirkan cara untuk mendapat tambahan uang: jadi guru les, jualan, live, bahkan jadi ojek online. Di sela-sela mengajar, masih ada beban lain yang kadang harus diselesaikan dengan uang.
Saat keadaan mulai mendesak dan membuat para guru bersuara menuntut gaji yang “cukup” itu, akan muncul suara sumbang dari mereka yang sedang cosplay jadi malaikat, “Jadi guru kok ngomongin gaji? Jadi guru itu harus ikhlas!”
Ngomongin Gaji = Nggak Ikhlas
Saya tidak tahu dari mana asalnya pemikiran ini. Kenapa saat guru menyinggung masalah gaji, mereka sering langsung dilabeli tidak ikhlas? Anehnya, orang yang berpendapat demikian kadang punya standar ganda.
Kalau orang yang protesnya adalah pejabat, bupati, polisi, pemadam kebakaran, pegawai kantoran—atau profesi apa pun selain guru—maka mereka sedang memperjuangkan haknya. Tapi kalau guru yang melayangkan protes soal gaji, pasti ada yang salah dengan keikhlasan mereka. Begitu katanya.
Memang benar, label “Pahlawan tanpa tanda jasa” itu tidak sembarang diberikan. Tapi bukan berarti setiap guru hanya boleh mengajar dan dibayar menggunakan ikhlas. Guru juga manusia, mereka punya kebutuhan, dan harus makan. Belum lagi jika gurunya kepala rumah tangga. Kan tidak bisa kalau anaknya minta makan tiba-tiba dijawab, “Yang ikhlas, ya. Nanti kenyang sendiri.”
Saya bukan ingin mengatakan guru harus mata duitan atau apa-apa uang, apa-apa uang. Hanya saja, untuk menjadi seorang guru, umumnya memerlukan perjalanan yang cukup panjang. Mereka harus kuliah empat tahun sebelum akhirnya mengabdi di sekolah. Guru itu profesi layaknya polisi, hakim, atau artis film. Jadi jika ada guru menuntut haknya, rasanya kurang pantas kalau tiba-tiba melabelinya “tidak ikhlas.”
Apalagi sambil julid, seperti orang yang memiliki dendam, “Guru kok yang dipikir gaji doang,” “Keikhlasan guru perlu dirawat dengan baik agar bisa mendidik generasi dengan tulus,” “Guru harus ikhlas ngajarnya agar bisa ditiru murid.”
Menurut saya, ikhlas atau tidak ikhlas itu urusan hati. Dan yang tahu hati manusia itu hanya Tuhan dan malaikat pencatat amal. Jika kita mudah melabeli hati orang lain kemudian mengatakan dia tidak ikhlas dalam pekerjaannya, takutnya kita malah mengambil alih job desc malaikat.
Lagi pula ibadah juga bukan hanya mengajar. Pekerjaan apa pun yang niatnya ibadah, ya tetap ibadah. Dan kalau sudah ibadah, itu berarti harus dikerjakan dengan ikhlas.
Haruskah Gaji Guru di Indonesia Setara Luksemburg?
“Di Indonesia mah gaji guru kecil, coba lihat di luar negeri, gajinya gede-gede.”
Saya sering sekali dengar kalimat itu keluar dari mulut orang Indonesia. Memang benar, gaji guru di sini banyak yang di bawah kata cukup. Tapi, apakah kita perlu membandingkan langsung dengan negara lain?
Mungkin jika tujuannya untuk memotivasi orang-orang supaya lebih peduli terhadap kesejahteraan guru, itu sah-sah saja. Tapi jika tuntutannya gaji guru harus sama seperti di Luksemburg—negara dengan gaji guru terbesar di dunia menurut survei—yang per tahunnya bisa tembus angka sekitar USD 60-70 ribu alias kira-kira Rp 1 miliar—rasanya agak berlebihan.
Kita tidak bisa menyamaratakan gaji profesi di Indonesia dengan luar negeri secara mentah-mentah. Hal ini karena kondisi dan latar belakangnya memang berbeda.
Saya juga harus mengatakan ini, tetapi memang fakta di lapangan menunjukkan menjadi guru di Indonesia relatif lebih mudah. Kadang, ketika lulusan sarjana bingung ingin kerja apa, ujung-ujungnya guru jadi pilihan terakhir. Artinya, seleksi guru di Indonesia bisa dibilang kurang ketat di sebagian sekolah—tentu beda ceritanya untuk kasus CPNS, PNS atau sekolah tertentu.
Di sinilah letak masalahnya. Di satu sisi, memang ada tantangan untuk meningkatkan kualitas dan seleksi guru. Tapi di sisi lain, fakta bahwa masih banyak guru yang memiliki gaji di bawah standar tetap tidak bisa diabaikan. Perbaikan kualitas dan kesejahteraan seharusnya berjalan beriringan.
Memberi kesejahteraan kepada guru bukan berarti harus menggaji setara Luksemburg. Nominalnya tentu menyesuaikan kemampuan negara atau pihak swasta. Tapi jika gaji guru kecil karena anggarannya dialihkan kepada hal-hal mubazir—apalagi diberikan kepada hal-hal yang tidak penting—itu keterlaluan.
Jika suatu hari ada kesempatan berdialog bersama pejabat—atau profesi lainnya—coba katakan, “Kerja itu harus ikhlas, jangan cuma mikirin gaji.” Jika perkataan tersebut dianggap wajar ketika dilontarkan kepada guru, maka hal tersebut seharusnya juga bukan masalah jika disampaikan kepada yang lain, kan?
✦✦✦

0 Comments