Akhir Arbitrase Perang Shiffin: Benarkan Karena Perebutan Kekuasaan?

Ilustrasi Perang Shiffin antara Muawiyyah bin Abi Sufyan dan Ali bin Abi Thalib

HISTORY – Akhir arbitrase Perang Shiffin menjadi sebuah epilog dalam sejarah Islam yang memiliki banyak versi. Kebanyakan orang satu suara tentang awal peristiwanya, tetapi tidak dengan akhirnya.

Versi yang paling umum adalah perang tersebut diakhiri dengan ketegangan antara kaum muslimin. Perang Shiffin selalu dinilai sebagai konflik antar umat Islam yang dipengaruhi oleh perebutan kekuasaan dan diakhiri dengan pengkhianatan.

Pada perang ini, Muawiyah bin Abi Sufyan kerap digambarkan sebagai sosok negatif yang tidak mau membaiat Ali bin Abi Thalib.

Kemudian, kisah akhir arbitrase Perang Shiffin diceritakan dengan kesepakatan menurunkan Ali dan Muawiyah dari kedudukannya sebagai pemimpin wilayah.

Yang lebih mencengangkan, saat Ali diturunkan oleh Abu Musa Al-Asy’ari dari jabatan khalifah, Amr bin Ash tampil mengangkat Muawiyah sebagai pemimpin.

Saat membaca ulang tentang sejarah kisah ini, muncul banyak tanya dalam benak saya. Bagaimana semua itu mungkin?

Untuk menjawab rasa penasaran tersebut, saya membaca ulang kisah tersebut dan menemukan buku yang membahas Perang Shiffin dari sudut pandang yang bisa lebih dipahami.

Dalam buku Meneladani Kepemimpinan Khalifah karya Abdullah Munib El-Basyiry, Perang Shiffin diceritakan sebagai berikut.

Awal Mula Terjadinya Perang Shiffin

Perang Shiffin terjadi disebabkan oleh perbedaan pandangan antara kelompok Muawiyah bin Abi Sufyan di Syam dengan kelompok Ali bin Abi Thalib di Kufah.

Namun, buku ini menyebutkan bahwa pemicu sebenarnya dari perang ini adalah konflik yang terjadi antara Muawiyah bin Abi Sufyan dengan pengikut Abdullah bin Saba’.

Kelompok Abdullah bin Saba’ merupakan sekumpulan orang di Mesir yang telah beberapa kali melakukan pemberontakan terhadap pemerintah.

Mereka pernah memberontak terhadap pemerintahan Usman bin Affan. Mereka juga menghasut para pengikutnya yang sudah tersebar di Mesir, Kufah, Basrah, dan Syam untuk melawan gubernur mereka.

Namun, upaya untuk melakukan pemberontakan di Syam mengalami kegagalan. Ketika itu, masyarakat Syam yang dipimpin Muawiyah bin Abi Sufyan sejak masa Umar bin Khattab tidak mudah untuk dipengaruhi.

Poin penting yang menjadi perselisihan antara Muawiyah bin Abi Sufyan dengan Abdullah bin Saba’ adalah bahwa pemimpin Syam tersebut sangat aktif menuntut hukuman terhadap pembunuh Usman bin Affan.

Dalam kitab Al-Bidayah wa An-Nihayah karya Ibnu Katsir, disebutkan bahwa kelompok Abdullah bin Saba’ secara tidak langsung terlibat dalam pembunuhan Usman bin Affan, kemudian mereka berada di sekitar Ali bin Abi Thalib.

Mereka juga orang yang memberi saran kepada khalifah Ali untuk memecat Muawiyah dari jabatan gubernur Syam.

Perselisihan dimulai ketika Ali bin Abi Thalib memutuskan untuk mengganti Muawiyah dengan Sahl bin Hunaif.

Kemudian, Muawiyah menyampaikan pesan kepada Ali bahwa masyarakat Syam belum melakukan baiat karena mereka menuntut agar pembunuh Usman untuk segera diadili.

Ketika itu, khalifah Ali belum bisa melaksanakan hukuman atas pembunuh Usman karena ingin menyelesaikan urusan baiat terlebih dahulu. Karena tidak adanya kesepakatan, maka perang pun terjadi

Bagaimana Proses Terjadinya Perang Shiffin?

Ketika kedua pasukan bertemu di Shiffin, mereka melakukan lagi perundingan untuk menghindari perang.

Muawiyah sempat mengatakan, “Demi Allah, sesungguhnya aku benar-benar mengetahui kalau Ali lebih baik dariku, lebih utama, dan lebih berhak dalam masalah ini (kekhalifahan) daripada aku. Akan tetapi, bukankah kalian mengetahui bahwa Usman terbunuh dalam keadaan terzalimi, sedangkan aku adalah sepupunya yang berhak meminta keadilan. Katakana kepadanya, agar ia menyerahkan pembunuhnya, maka aku menyerahkan persoalan ini kepadanya.”

Kemudian peperangan pun terjadi. Setelah pertempuran berjalan sengit, Al-Asy’ats berkata:

“Jika pertempuran ini baru berhenti besok, maka bangsa Arab akan sirna dan kehilangan kehormatan. Demi Allah aku mengatakan ini bukan karena aku takut perang, tetapi aku ini orang tua, aku mengkhawatirkan para wanita dan para gadis jika kita semua binasa.”

Kemudian Muawiyah juga berkata.

“Dia benar, demi Rabb Kakbah, jika kita masih berperang besok, maka Romawi akan mengincar para gadis dan wanita kita. Sementara Persia akan mengincar para wanita dan keturunan Irak. Ini hanya dapat dilihat oleh orang-orang yang cerdas.”  Kemudian Muawiyah menambahkan, “ikatlah mushaf diujung tombak kalian.”

Pengangkatan Al-Qur’an tersebut menjadi tanda bahwa peperangan harus dihentikan. Setelah berperang selama tiga hari lamanya, akhirnya kedua belah pihak setuju untuk melakukan tahkim atau artibtrase.

Perang Shiffin dilakukan dengan kesepakatan bahwa mereka yang terluka harus dibiarkan, mereka yang melarikan diri tidak boleh dikejar, dan mereka yang meletakkan senjata akan aman.

Kemudian, tidak boleh mengambil benda milik mereka yang meninggal (ghanimah), serta mendoakan dan mensalatkan mereka yang gugur di kedua belah pihak.

Bagaimana Sebenarnya Akhir Artibrase Perang Shiffin?

Menurut KBBI, arbitrase adalah hukum peradilan yang dilaksanakan atas dasar kesepakatan antara pihak-pihak yang berselisih dan dimediasi oleh hakim yang telah mereka pilih sendiri.

Perang Shiffin diakhiri dengan peristiwa tahkim atau arbitrase. Kedua belah pihak setuju untuk menunjuk seseorang yang adil dari pihak masing-masing. Kelompok Ali memilih Abu Musa al-Asy’ari, sedangkan pihak Muawiyah menunjuk Amr bin Ash.

Akhir arbitrase Perang Shiffin ini menjadi peristiwa penting yang menunjukkan bahwa tidak ada perebutan kekuasaan antara pihak Ali dengan Muawiyah, apalagi pengkhianatan dengan mengangkat satu pihak dan menipu pihak lainnya.

Setelah Abu Musa dan Amr melakukan musyawarah, mereka setuju untuk mengakhiri perang dan kemudian membuat perjanjian.

Hasil akhir arbitrase Perang Shiffin tersebut adalah bahwa Ali membawahi urusan wilayah Irak dan penduduknya, sementara Muawiyah membawahi urusan wilayah Syam dan penduduknya, dan tidak ada penggunaan senjata. Lamanya perjanjian ini adalah satu tahun. Setelah itu, perjanjian bisa diperpanjang atau dibatalkan.

Hal ini berarti bahwa Muawiyah tidak wajib membaiat Ali, dan Ali tidak harus menghukum pembunuh Usman segera sebagaimana yang diminta pihak Muawiyah.

Itulah akhir arbitrase Perang Shiffin. Perlu dipahami bahwa perang ini bukanlah perang yang memperebutkan kekuasaan sebagaimana yang sering diceritakan.

 

✦✦✦

Post a Comment

0 Comments